Tawadhu (Rendah Hati)
Tawadhu (Rendah Hati) merupakan kajian Islam yang disampaikan oleh: Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A. dalam pembahasan Amalan-Amalan Hati. Kajian ini disampaikan pada Jumat, 9 Jumadil Awal 1447 H / 31 Oktober 2025 M.
Kajian Tentang Tawadhu (Rendah Hati)
Sifat tawadhu, atau tidak sombong dan rendah hati, merupakan sifat hamba-hamba Allah (’Ibadurrahman) yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, memiliki kedudukan mulia di sisi-Nya, dan mendapatkan rahmat Allah ’Azza wa Jalla. Rendah hati di sini bukan berarti menghinakan diri. Seorang yang tawadhu adalah seorang yang jauh dari sifat kesombongan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam Al-Qur’an di antara sifat ’Ibadurrahman:
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” (QS. Al-Furqan [25]: 63)
Ayat yang mulia ini menjelaskan salah satu sifat ’Ibadurrahman , yaitu bila berjalan di permukaan bumi, mereka dalam keadaan haunan, yakni tawadhu, tidak sombong, dan tidak angkuh. Hal ini menjelaskan keutamaan mereka dan juga keutamaan sifat tawadhu, sebab sifat ini adalah sifat orang-orang yang beruntung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Begitu juga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sifat hamba-hamba-Nya yang tawadhu kepada orang-orang yang beriman, tetapi tegas terhadap orang-orang kafir:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ…
“Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 54).
Sifat mereka selalu merendahkan diri di hadapan orang-orang yang beriman. Mereka tawadhu dan tidak sombong kepada sesama orang beriman. Sebaliknya, mereka adalah orang yang tegas terhadap orang-orang kafir, musuh-musuh Allah. Inilah sifat ahlul iman. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan dan mengangkat derajat mereka di dunia dan akhirat. Adapun orang-orang yang sombong akan dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan juga di akhirat kelak, waliyazubillah.
Al-Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menjelaskan bahwa sifat tawadhu yang dimiliki oleh ’ahlul iman —yang mereka berlemah lembut, tawadhu, rendah diri, dan tidak menyombongkan diri kepada orang-orang yang beriman—merupakan sifat yang disertai dengan rahmah (kasih sayang). Kerendahan diri mereka disertai dengan rahmat dan kasih sayang sehingga dirasakan oleh orang-orang yang beriman.
Kata ’adzillah di sini bukan bermaksud menghinakan diri, tetapi kerendahan diri yang disertai kelembutan, kasih sayang, dan rahmat. Seorang mukmin bersama saudaranya adalah orang yang tawadhu, mudah bergaul, tidak sombong, tidak angkuh, dan tidak membanggakan diri karena ia cinta dan sayang kepada saudaranya serta berlemah lembut kepada mereka. Sikap ini sangat memengaruhi hati, kebeningan jiwa, dan ketulusan hati.
Balasan bagi Orang yang Tawadhu
Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, akan mengangkat derajat mereka yang tawadhu.
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً ، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وجلَّ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala menambahkan kepada seorang hamba karena pemberian maafnya kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang merendahkan diri (tawadhu) karena Allah ’Azza wa Jalla, melainkan Allah ’Azza wa Jalla akan meninggikan (derajat)nya.” (HR. Muslim).
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ
Barang siapa yang tawadhu lillah (karena Allah), bukan karena paksaan, bukan karena motif atau orientasi lain, bukan berpura-pura, tetapi tawadhu telah menjadi bagian dari sifat yang melekat pada dirinya, maka orang yang demikian itu rafa’ahullah (akan diangkat oleh Allah derajatnya) di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala murka kepada orang yang sombong dan cinta kepada orang-orang yang tawadhu. Oleh karena itu, balasan bagi orang yang tawadhu adalah surga, sementara mereka yang sombong dan angkuh balasannya adalah neraka.
Dalam hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada secuil kesombongan, meskipun seberat biji sawi dari kesombongan.” (HR. Muslim)
Ini adalah ancaman bagi mereka yang kesombongan menyertai dirinya dalam perkataan, bersikap, penampilan, dan segala hal. Kesombongan adalah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Salah satu nama Allah adalah Al-Mutakabbir, keagungan dan kesombongan adalah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak pantas dimiliki oleh seorang pun dari manusia. Barang siapa berusaha merampas atau mengambil sifat tersebut, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala binasakan dan hinakan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Teladan Tawadhu
Nabi kita yang mulia, ’Alaihish Shalatu was Salam, adalah uswah (teladan) dalam sifat tawadhu.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا
“Sungguh, benar-benar ada padamu pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang mengharap (keridaan) Allah dan (balasan) hari Akhir serta yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah teladan terbaik bagi orang-orang yang beriman, yang mengharapkan Allah dan negeri akhirat. Beliau adalah teladan dalam sifat tawadhu dalam segala hal. Banyak sekali sikap dan akhlak beliau yang menunjukkan ketawadhuan, bahkan kehidupan beliau adalah cerminan dari ketawadhuannya.
Beberapa contoh ketawadhuan beliau:
- Ketika melewati anak kecil, beliau mengucapkan salam, “Assalamu ’alaikum.” Beliau sama sekali tidak beranggapan, “Saya seorang Nabi, orang yang paling mulia, untuk apa mengucapkan salam pada anak kecil?” Lihat: Bersikap Ramah kepada Anak
- Terkadang seorang budak wanita mengajak beliau untuk memenuhi hajat dan kebutuhannya, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendampinginya sampai budak tersebut mendapatkan apa yang diinginkan.
- Imam Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa di rumah, beliau membantu keluarganya, berkhidmat kepada keluarganya.
- Beliau tidak pernah membalas untuk kepuasan dirinya di rumah.
- Beliau memperbaiki sandal atau terompahnya yang sobek, menjahit baju yang robek, memerah susu kambing untuk keluarganya, mencari makanan untuk kambing atau dombanya, makan bersama para pelayan, duduk bersama orang-orang miskin, dan berjalan bersama anak yatim dan para janda untuk mendapatkan hajat dan kebutuhan mereka.
- Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memulai untuk mengucapkan salam kepada siapa saja yang beliau jumpai.
- Apabila beliau diajak untuk memenuhi suatu undangan, beliau datang memenuhinya kendati untuk sesuatu yang kecil atau tidak terlampau penting.
Semua hal ini adalah potret cerminan ketawadhuan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau seorang Nabi, utusan Allah, tetapi begitulah beliau mencontohkan kepada umatnya agar memiliki sifat tawadhu. Beliau adalah orang yang mudah tersenyum, tawadhu tetapi bukan karena hina, dermawan tetapi tidak berpoya-poya, lembut hatinya, santun kepada setiap muslim, mencintai orang-orang yang beriman, dan mudah bergaul.
Indikator Ketawadhuan
Imam Fudhail bin Iyad Rahimahullah ditanya tentang tawadhu, dan beliau menyebutkan ada tiga indikator ketawadhuan seseorang:
يَخْضَعُ لِلْحَقِّ وَيَنْقَادُ لَهُ وَيَقْبَلُهُ مِمَّنْ قَالَهُ
- Tunduk kepada kebenaran.
- Menerima kebenaran, tunduk kepada kebenaran tadi.
- Menerima kebenaran dari siapa pun yang mengatakannya.
Selama hal itu adalah kebenaran, maka wajib diterima. Sesungguhnya kesombongan yang merupakan akhlak tercela dan bertentangan dengan tawadhu hakikatnya adalah menolak kebenaran dan menghina atau merendahkan manusia. Sementara tawadhu adalah menerima kebenaran dan tunduk kepada kebenaran.
Kebenaran adalah hikmah yang hilang dalam diri seseorang yang ia selalu mencarinya. Kebenaran datang dari Allah dan Rasul-Nya.
اَلْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 147).
Tentu, indikator kebenaran bukan pikiran seseorang, bukan pemahaman seseorang, bukan pendapat kelompok tertentu. Kebenaran itu landasannya adalah qallallah wa qalar rasul. Siapa pun yang mengatakan kebenaran dan tidak bertentangan dengan dalil Al-Qur’an dan hadits, maka wajib untuk diterima dan tunduk kepadanya. Barang siapa yang menolak hal itu, itulah kesombongan yang sesungguhnya.
Teladan Tawadhu Umar bin Khattab
Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menukil sikap Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu yang menjelaskan ketawadhuan beliau. Urwah bin Zubair menceritakan:
رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى عَاتِقِهِ قِرْبَةَ مَاءٍ، فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، لَا يَنْبَغِي لَكَ هَذَا، فَقَالَ: لَمَّا أَتَانِي الْوُفُودُ سَامِعِينَ مُطِيعِينَ دَخَلَتْ نَفْسِي نَخْوَةٌ فَأَرَدْتُ أَنْ أَكْسِرَهَا.
“Aku melihat Umar bin Khattab Radhiyallahu ’Anhu memikul kantong air di pundaknya. Maka aku berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin Pemimpin orang-orang beriman), tidak pantas engkau melakukan hal ini.’ Lalu beliau menjawab, ‘Ketika para utusan datang menemuiku dalam keadaan mendengar dan menaati, kesombongan masuk ke dalam diriku, lalu aku ingin menghilangkannya (menghancurkan sifat tersebut).`”
Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu adalah khalifah kedua, pemimpin yang dijamin masuk surga. Tidak diragukan lagi keutamaan, keilmuan, kebijaksanaan, keadilan, dan ketegasannya dalam kebenaran. Meskipun demikian, beliau memikul kantong air di pundaknya.
Urwah bin Zubair bertanya, “Ya Amirul Mukminin, tidak pantas engkau melakukan hal itu. Engkau seorang pemimpin, seorang khalifah.” Jawaban Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu adalah, “Ketika para utusan datang menemuiku, mereka mendengar dan menaati instruksi dan perintah dariku.”
Seorang pemimpin tentu didatangi oleh para utusan dari berbagai penjuru. Kondisi kedatangan mereka tersebut meninggalkan dalam dirinya, memasukkan dalam dirinya sifat nakhwah —yaitu asy-syahmah wal hamasah wal ghira (sifat kewibawaan, sifat kebanggaan, dan semangat), bukan keangkuhan. Beliau merasa berwibawa karena didatangi oleh orang-orang penting, para utusan. Ini adalah sifat manusiawi.
Akan tetapi, Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu melihat bahwa sifat yang seperti itu—yang muncul tatkala didatangi oleh para utusan—berbahaya. Hal ini bisa membawa kepada sifat kesombongan dan keangkuhan. Maka, beliau Radhiyallahu ‘Anhu ingin menghilangkan sifat yang demikian itu karena bertentangan dengan tawadhu yang sempurna.
Betapa luar biasa tawadhunya Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu. Di zaman sekarang, banyak manusia yang terlihat tawadhu ketika belum mendapatkan jabatan dan kedudukan. Namun, begitu mendapatkan jabatan, tampaklah semua kesombongannya dalam berbicara, berperilaku, bersikap, merendahkan orang lain, dan dalam penampilan. Hilanglah sifat-sifat tawadhu dan rendah hati, padahal sifat demikian adalah sifat yang tercela.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menjelaskan bahwa dosa pertama yang dilakukan oleh iblis yang menyebabkan Allah melaknat dan mengusirnya dari surga adalah kesombongan. Iblis tidak menerima kebenaran dan menyombongkan diri di hadapan Allah dengan alasan bahwa ia lebih mulia dari Adam, sehingga tidak mau sujud.
Download MP3 Kajian Tawadhu (Rendah Hati)
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55749-tawadhu-rendah-hati/